Selasa, 24 Agustus 2010

YANG TERTINGGAL

Kamu harus mengerti bahwa tugasmu telah selesai, sejak lama. Setahun lalu atau bahkan lebih. Serahkan tongkat estafet ini kepada yang muda dan biarkan mereka bekerja. Jangan selalu merongrong mereka dari belakang. Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Tanpa ada gangguan darimu. Kamu tahu, mereka merasa tak nyaman dengan sok keakrabanmu. Ingat itu. Hentikan tindakanmu yang tidak dewasa. Hentikan sikap yang menganggap bahwa kau masih perlu mengurus semuanya. Dan ku mohon hentikan sekarang juga. Kamu telah berjaya dahulu !!! Kamu tahu, aku benci kau begitu. Sangat benci. Kau seperti tidak sadar, akan pandangan sinis mereka untuk setiap tutur -yang kau anggap 'perhatian'- terlontar pada mereka. Sudahlah, aku kasihan padamu. sangat kasihan... Sebagai sesuatu yang selalu ada dalam dirimu, aku mohon sudahlah, masih ada banyak hal yang perlu kau lakukan. Yakinlah, semua telah tiba pada masa kau harus melupakan masa lalumu. Masa depan telah mengembangkan tangannya siap mendekapmu.

Apakah salah? aku hanya ingin balas jasa. Kau ingat, seperti apa aku dulu? apa aku seperti sekarang ini? aku yakin, kau tahu semua tentangku dan kau akan setuju bahwa ada yang berubah padaku. Dan itu bermula sejak aku disana. Kamu hanya tidak tahu, betapa mereka telah membesarkan aku. Kamu hanya tidak mengerti, bahwa karena merekalah aku seperti ini. Mungkin butuh waktu bagimu untuk mengerti. Akupun tak memaksamu untuk mengerti. Ingat itu. Apa kau juga akan menghalangiku untuk membalas semua kebaikan yang telah mereka berikan terhadapku. Dan perlu kau tahu, aku tidak peduli dengan tatapan sinis mereka. Niatku baik. Hanya berbagi.

Baik! telah berulang kali aku mengingatkanmu. Telah berulang mulut ini melontarkan hal yang sama. Jika kau tak ingin pahami, jika kau tak mau peduli, aku pun akan berhenti sampai disini. Lanjutkanlah bagimu kehidupanmu sendiri dan lepaskan aku. Biarkan aku mencari tempat yang lebih layak. Seseorang yang mau menerima kenyataan bahwa masa lalu telah berakhir. Dan setiap detik yang akan dilewati adalah masa depan. Tak ada masa lalu yang abadi. Semua hanya kenangan.

Pergilah. Akupun tak butuh kau. Dan ku tekankan, aku tak akan berhenti hingga aku yang ingin menyudahinya. Sungguh, kau tak kan pernah mengerti apapun. Yang kau tahu hanya logika. Kau tak akan memahami kehalusan perasaan manusia. Siapa kau?!

O…. Jadi kau anggap apa aku selama ini?! Aku yang selalu menemani sejak kau mampu membedakan warna hitam dan putih. Sejak saat kau mampu mengenal satu tambah satu sama dengan dua, bukan empat atau yang lainnya. Kau lupa, siapa yang mengingatkanmu saat kau khilaf. Siapa yang menyemangatimu saat kau jatuh dan terpuruk. Dan sekarang kau bertanya, siapa aku ? harus ku akui, kau masih anak-anak, bahkan lebih dari itu. Ternyata Tuhan salah mengirimku padamu. Untuk apa aku hidup bersama orang yang selalu terkurung dalam kerangkeng masa lalunya.

Hentikan ocehan yang tak berguna itu. Kalau mau pergi, berangkatlah sekarang juga.

Acuh. Beringas. Sinis. Semakin jengah. Berlagak tak peduli. Menjauh. Merenung. Dan pergi. Dan menangis.
Menyesal. Terisak. Membendung air mata. Meraung. Hujan dipelupuk mata. Ingin kembali. Ingin kembali. Malu. Malu. Kesepian. Kesepian.
***

Berat. Perpisahan ini terlalu cepat dan berat. Aku tak pernah membayangkan akan secepat ini. Aku tidak menyangka bahwa tiga tahun adalah waktu yang begitu singkat. Baru kemarin rasanya aku mendaftar sebagai siswa baru. Sekarang sudah tiba pula bagiku untuk berpisah. Semua merayakan kepergianku. Sedangkan aku masih ingin disini. Ada begitu banyak hal yang menggantung dan belum terselesaikan. Semua misi yang telah terjadwal masih tersisa beberapa. Haruskah berakhir sekarang. Aku tak ingin. Aku belum sanggup. Aku belum sanggup meninggalkan kenangan yang telah tercipta. Aku belum mampu melangkah dan menjauh dari sarang yang selama ini menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Belum untuk ini. Teman-temanku, para malaikatku, tak ada ungkapan yang lebih baik dari ini. Dan guru-guruku, yang tanpa lelah mengandung dan melahirkanku seperti ini. Dan organisasiku, yang mengajarkan aku akan siapa diriku. Dan misiku, semangat yang terkumpul dalam relung ini untuk membangkit semuanya. Dan sekolahku, dunia kecilku yang tak kalah dengan bumi. Maaf, aku belum siap untuk ini. Izinkan aku tinggal disini untuk satu atau dua tahun lagi. Aku janji tidak akan nakal. Aku tidak akan merepotkan kalian. Sudikah kalian menerimaku kembali ?

Apa daya. Waktu telah bersabda, meski tak ingin, segalanya harus berakhir disini. Perhelatan ini menghantarkan kami –tunas-tunas yang tumbuh di musim hujan- sampai penghujung jalan. Sepatah kata dari guru tersayang membawa kami –benih yang disemai dengan kasih sayang, meski kadang berbalas garang- menginjak pusat bumi. Terbenam dalam pesawangan beku, bagiku. Jabat perpisahan. Pelukan terakhir persaudaraan. Senyum manis persahabatan. Dan terakhir, suasana kelas nan ramai. Sukanya. Dukanya. Tertawanya. Pertengkarannya. Segalanya harus berakhir dan tak akan pernah terulang kembali. Persis seperti ini dan yang telah lalu selama tiga tahun ini.

Salahkah jika aku menangisi ini ? adakah seseorang yang menganggap ini sikap yang kekanak-kanakan? Terlalu bodohkah untuk seorang anak yang telah merayakan tujuh belasannya? biarlah. Ini luapan perasaanku. Tak ada yang mengetahui secara pasti bagaimana perasaan orang lain. Inilah bentuk kesedihan mendalamku yang berwujud.

Aku terduduk di bangku plastik berwarna biru. Dibawah lindungan tenda seputih awan. Kakiku berat untuk bergerak. Badan ini lelah, bukan hanya karena sibuk mengurus acara sampai sore ini, tapi ada sesuatu dalam hati yang membenam bagai batu. Berat. Lelah. Dihadapanku, manusia-manusia berbaju seragam lalu lalang, tertawa, berjabat tangan, berpelukan dan membuat kenangan. Alunan musik merdu, syahdu dan membuatku randu, mengalun lemah gemulai. Denting-denting perpisahan mengalir perlahan. Aroma akhir pertemuan tercium pekat. Langit gelap dan angin bersiul lambat.

Dan aku menangis. Aku benar-benar menangis. Untuk pertama kalinya, aku mengenal air mata. Aku malu, tentu saja. Terlalu menarik perhatian hingga beberapa dari teman-teman yang berseragam mendekat mendatangiku, mengusap punggungku, menenangkanku. Untunglah mereka mengerti. Tak menertawakanku. Keadaan ini membuatku kisruh, luluh. Aku ingin berteriak, hentikan perpisahan ini!!! Tapi tidak bisa. Sesak. Bulir bening itu tak henti mengalir di wajahku yang memerah. Lagi-lagi menarik perhatian. Kali ini para guru tersayang. Mereka merangkulku, memberiku sapu tangan penghapus air mata, mereka bawakan segelas air untuk mengurangi kegundahanku. Kau tahu, rasa sayang itu tak akan terbalas. Mereka menenangkanku, sementara perhatian itu membuatku semakin ingin meraung dan berteriak.

Akhirnya senja menutup semuanya. Tak ada lagi nyanyian sendu. Tak ada lagi wajah pilu. Tak ada lagi tawa. Tak ada lagi jabat tangan dan pelukan. Benar-benar berakhir. Yang tersisa hanya aku yang terpuruk dalam genangan kesedihan.
***

Buat guru-guru tersayang…

Apa kalian masih ingat bagaimana awal keberadaanku di sekolah ini ? aku kerdil, dekil, suka mencukil yang tak ternukil. Berhari, berminggu dan membilang bulan semua tetap sama. Lalu tahun pertama berlalu. Tingkahku masih seperti itu. Meski begitu, kalian selalu mengajarku dengan tulus seperti janji kalian kepada sang waktu. Kalian terus saja membimbingku ke jalan yang semestinya. Kalian ajak aku berkeliling rimba untuk menyadarkan akan keangkuhanku. Lalu, kalian terbangkan aku ke angkasa. Aku tahu, kalian ingin aku mencapai bintang. Bintang yang lebih tinggi dan lebih terang dari apa yang telah kalian capai.

Buat guru-guruku tersayang…

Terima kasih untuk setiap tetes ilmu yang telah kau tuangkan dalam cawan kehidupanku. Terima kasih untuk setiap kasih sayang yang kalian curahkan untukku. Dan terima kasih untuk semua benih kebaikan, aku yakin akan tumbuh subur kelak, untuk segala doa yang kalian tumpangkan dalam shalat malammu. Terima kasih. Terima kasih.

Aku sadar, aku salah. Dan aku berjanji aku akan berubah. Aku akan membuat kalian bangga dan tersenyum sumringah.

Mohon maaf atas segala kenakalan yang kulakukan. Mohon maaf atas segala kegaduhan yang kuciptakan. Maklumi semuanya. Semoga kalian mendapatkan tempat yang layak di masa depan. Aku percaya, Allah menghitung lipat ganda niat tulus kalian.
***

Teruntuk malaikat-malaikatku, sahabat-sahabat yang setia bersama dalam tiga masa…

Teman, kalian selalu membuatku tertawa jika kembali mengenang awal kita bersua. Wajah malu, kaku, dan tanpa rona. Diam. Hening. Dan hanya sesekali bersuara. Lalu waktu mengajak kita bercanda. Musim mengenalkan kita akan arti bersama, dalam tawa dan duka. Dari sanalah bermula cerita indah meski kadang berbumbu cuka.

Apa kau masih ingat, teman, tentang guru-guru praktek lapangan yang kita tertawakan bersama ??? hahaha… tentang guru yang mengusir kita karena telat masuk setelah jam istirahat. Kemudian, bagaimana dengan kenangan kita sewaktu mendekap sore dihalaman sekolah, ditemani wangi angin dari tebing, hijau pepohohan. Berlari bersama, dan tertawa bersama, tak lupa makan mie traktiran bersama…hahaha…

Teman, aku ingin menangis? Apa kalian juga?

Perpisahan setahun lalu menjauhkan kita. Tapi tidak dalam hatiku, kalian akan tetap ada. Tak kan terlupa. Apa kalian juga begitu?

Kapan kita akan seperti dulu lagi? apa ikatan ini akan terjaga selamanya? aku takut, kalian akan melupakan aku.

Terima kasih untuk senyumnya, jabat tangannya, rangkulan dan pelukan hangatnya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar