Minggu, 29 Agustus 2010

Kapal Yang Mengapung Tanpa Nelayan


Kapal mengapung tanpa bising penumpang, berkawan riak yang menggoda

Tubuhnya lapuk dimakan dingin air yang menggigit


Kapal tlah lama tak bertuan

Karena nelayan tak lagi punya lahan


Ikan-ikan tlah lama hilang, bersembunyi di balik batuan terdalam atau mati

Kapal hanya tinggal kenangan,

Ditemani sepi, lalu karam,


wahai laut,

Ceritakan padaku tentang ikan, udang dan batu karang

Biar hilang derita nelayan yang pulang dengan wajah suram


Wahai laut,

Tuturkanlah tentang kapal yang mengapung tanpa nelayan



Puisi ini pernah diterbitkan di Surat Kabar Kampus GANTO UNP Edisi 155

Tahun 2010

Sabtu, 28 Agustus 2010

Hemat (Tak Selalu) Pangkal Kaya

Ah, ada-ada saja. Sayapun merasa aneh pada diri saya sendiri. Percampuran sedikit rasa malu, cuek dan kreatif. Kemudian menjadi sesuatu hal yang rasanya tak akan pernah dilakukan oleh orang lain. Unik sekaligus –jika orang lain tahu tentu akan- memalukan. Tapi, ini semua dilakukan bukan karena apa-apa. Hanya karena keisengan semata. Percaya atau tidak, sah-sah saja.


Waktu berbuka masih lama. Kami –saya dan beberapa teman- berencana untuk berbuka bersama. Tempatnya belum jelas. Untuk mengisi waktu luang menjelang berbuka, kami jalan-jalan saja ke sebuah supermarket. Ngabuburit, seperti orang-orang bilang. Sekaligus meng-ademkan diri. Di dalam supermarket ramai sekali. Setelah menaiki jenjang berjalan, kami disambut oleh beberapa buah tenda salah satu produk telekomunikasi di Indonesia. Mereka tengah menjajakan barang dengan barang murah. Kami tak tertarik, tentu. Karena memang tak ada budget untuk itu.

Kami naik ke lantai selanjutnya. Lebih ramai lagi oleh toko-toko pakaian dan sepatu. Di salah satu blok di lantai itu, terdapat sebuah pusat permainan anak-anak. Apa-saja. Macam-macam. Ribut oleh suara musik dari permainan dance. Juga suara-suara sumbang penyanyi-tak- jadi yang mengambang dari dalam boks karaoke kemudian menyebar ke seluruh ruangan. Kami masuk.

Dari awal, ini adalah tujuan utama. Ke pusat permainan untuk menghabiskan waktu. Seperti waktu bisa dihabiskan saja. Patungan dijalankan. Koin dibeli. Dan mari bernyanyi. Tak perlu mengantri bagi kami untuk masuk ke dalam boks karaoke. Kebetulan ada sebuah boks kosong. Langsung saja, kami buru-buru mengisi, takut diisi oleh orang lain. Padahal lagu-lagu belum dipilih. Ah, dasar.

Ruangan itu penuh oleh empat orang yang terobsesi menjadi penyanyi-sampingan. Kenapa sampingan, karena menyanyi hanya untuk melepaskan hasrat saja. Seharusnya lima orang. Kurang satu orang lagi. Dia sedang berada entah dimana waktu itu. Katanya pulang sebentar, tapi sudah dua bentar bahkan puluhan bentar, dia tak juga mencogok giginya di lantai dua Supermarket itu.

Tanpa menunggu perintah, tanpa menunggu seorang lagi yang masih berkeliaran diluar sana, Kode dipilih dan ‘Play’. Musik mengalun. Lalu, keluarlah suara-suara aneh dari dalam speaker. Kami tak peduli. Suara aneh itu semakin menjadi-jadi ketika kami mulai berteriak-teriak mengikuti lirik dan irama lagu. Tentu saja kami sadar bahwa suara-suara aneh itu adalah suara kami sendiri. Pura-pura bagus saja, kami menganggapnya. Sepertipenyanyi beneran yang lagi ngontest.

Tiga-empat lagu telah habis kami lahap. Kenyang. Sedang si seorang lagi masih belum mencogok. Di sms tak dibalas. Di telfon tak diangkat. Ditendang baru tahu rasa.

Sebagai orang baik, kami tak mau bersenang-senang sendiri. Kami tak mau menghabiskan koin dan menyungkah lagu, tanpa mengikutkan suara aneh lainnya. Kami akhirnya memutuskan untuk menunggu. Menunggu seorang lagi yang katanya –setelah beberapa saat dihubungi- sedang dalam perjalanan. Perjalanan kemana, itu pertanyaannya.

Koin masih tersisa untuk beberapa buah lagu lagi. Tapi, kami tak mau menggunakannya. Kalau digunakan sekarang, tentu jika yang seorang itu datang, tentu kami harus memebeli koin baru. Sementara saku-saku tak mencukupi. Apa daya, kira-kira sebelasan koin tergeletak pasrah diatas meja di depan TV. Hening. Jobless. Tak tahu harus melakukan apa. Menunggu sungguh membosankan, baru saya rasakan saat itu. Padahal lagu-lagu cantik tengah menunggu untuk dimainkan. Arghhh…

Dari luar boks, beberapa orang mulai mengintip. Apakah kami benar-benar ‘main’ atau tidak. Nyatanya, kami memang sedang tidak main. Jika harus keluar dulu, tentu kami haru mengantri untuk bisa masuk lagi. Dan kami tidak mau itu. Alhasil, untuk mengisi kekosongan, iseng-iseng saya menghidupkan MP3 dari telfon genggam saya. Lalu saya tempelkan speakernya ke mikrophon. Suara miley cyrus dengan the climb-nya mengudara. Kawan saya, yang hapal dengan lirik berbahasa asing itu, lantas menggenggam mikrophon dan mulai bernyanyi. Selesai. Satu lagu lagi diputar dari mp3 handphone dan kamipun mulai menikmati nyanyi gratis dalam boks tanpa harus mengeluarkan tiga buah koin untuk satu buah lagu. Bangga sekali bisa menelurkan ide sekreatif itu.

Lama-lama bosan juga. Telah habis dua lagu. Si seorang itu tak ada tanda-tanda akan datang. Kami berinisiatif untuk keluar saja dari boks. Waktu berbuka telah dekat. Rencana pertama harus dilaksanakan. Akhirnya, kami janjian dengan si seorang itu untuk bertemu di suatu rumah makan. Kami berempat bergegas.

Namun, apa yang terjadi selanjutnya. Koin yang jumlahnya lumayan banyak itu ternyata tak ada satupun. Tidak sama saya. Tidak sama teman saya. Saya pikir dia yang membawa. Dia pikir saya yang membawa. Saling tuduh. Sedangkan kenyataannya, koin-koin itu tertinggal di dalam boks karaoke. Nasib…nasib… Sia-sia saja menghemat koin-koin itu jika akan hilang juga.

Don’t ever try this on you ! Not for a good ones !

Jumat, 27 Agustus 2010

Sahabat dan Jalan yang (Belum Tentu) Salah

Kamis, 25 Agustus 2010

Pukul 03.00 dini hari

Iseng-iseng saja, karena mata belum mengantuk dan jaringan wireless yang rusak, saya mengacak-acak folder di komputer. Melihat foto-foto dan lainnya. Tanpa sengaja saya menemukan beberapa folder film. Saya penasaran. Sekalian memanfaatkan keadaan sebab saya sedang tidak berminat menulis waktu itu. Saya buka satu folder film dan mainkan.

Judulnya ‘New York’. Sebuah film India, rupanya. Saya tidak tahu genre apakah film itu. Dari beberapa film India yang telah saya tonton, saya menafsirkan India mulai go internasional sekarang. Itu yang membuat saya tertarik.

Cerita awal dimulai dari seseorang yang ditangkap polisi karena di dalam bagasi mobilnya ditemukan senjata berupa pistol Ak-47. Tokoh film ini tidak ada yang saya kenal. Dalam film, pengendara mobil itu bernama Omar. Dia ditangkap dan diinvestigasi di markas besar Fbi oleh seorang agen bernama Roshan. Seorang agen berkebangsaan India juga. Usut punya usut, dimulailah kisah yang ingin disampaikan oleh film ini. Genre terrorist, saya menyebutnya begitu. Karena film-film india keluaran 2010 sepuluh ini sangat tertarik dengan hal-hal yang berbau teroris.

Agen yang bernama Roshan ini ternyata sedang mengincar seseorang yang –dengan berbagai bukti yang ada- dianggap sebagai teroris. Jadi apa hubungannya Omar dengan teroris-teroris itu? apakah Omar juga teroris?

Tidak.

Omar dan Sameer –bertiga dengan Maya (warga india yang dari kecil tinggal di Amerika)- adalah sahabat karib ketika kuliah dulu. Tujuh tahun berlalu. Sameer dan Maya akhirnya menikah dan mempunyai anak bernama Daniel. Dan pahitnya, Sameer adalah teroris yang diincar oleh agen FBI. Roshan mengatur trik –tentang senjata di dalam bagasi mobil- untuk menangkap Omar agar dia mau bekerjasama dengan FBI untuk membungkam Sameer. Awalnya Omar tidak mau bekerja sama. Dia pun tidak mengakui kalau Sameer –sahabat karibnya- adalah teroris incaran FBI. Namun Roshan mendesak dan membuat perjanjian untuk tidak membunuh Sameer jika Sameer benar-benar seorang teroris. Perjanjian disepakati. Dan mulailah Omar masuk ke dalam kehidupan Sameer dan Maya.

Sameer –dulu, sewaktu kuliah- adalah lelaki yang sering dianggap arogan oleh teman-temannya. Tentu saja, karena dia ahli dalam segala hal. Lomba lari. Olahraga. Dan permainan catur. Catur jugalah yang awalnya mempertemukan Omar dengan Sameer. Omar adalah orang pertama yang mengalahkan Sameer dalam permainan itu. Sedang Maya –seorang ketua senat kampus- telah mengenal Omar ketika pertama kedatangan Omar ke kampus sebagai mahasiswa penerima beasiswa dari India. Merekapun mulai berkawan erat.

Omar ada rasa kepada Maya. Tapi, Omar tidak tahu kalau Maya ternyata pacarnya Sameer. Mereka berteman sangat akrab. Ketika Sameer mendapat kecelakaan –pada suatu peristiwa pencopetan yang melibatkan maya- Maya menangis sejadi-jadinya dan mengucapkan kata-kata cinta kepada Sameer. Saat itu, mereka sedang bertiga. Tentu saja Omar mendengar semua kata-kata itu. Dia begitu sedih. Tapi, dia tidak memperlihatkan kesedihannya itu kepada Sameer dan Maya. Setelah beasiswanya berakhir, Omarpun menghilang dari kehidupan Sameer dan maya hingga takdir harus mempertemukan mereka kembali tujuh tahun kemudian dalam sebuah drama yang sangat mengharukan.

Roshan mengatur cara bagaimana supaya Omar bisa bertemu dan tinggal dengan keluarga Sameer. Upaya tersebut berhasil. Omar akhirnya tinggal dan menjadi mata-mata FBI di rumah Sameer. Omar tidak menemukan bukti apa-apa tentang keterlibatan Sameer dalam organisasi teroris hingga ia dihadapkan pada suatu peristiwa. Sameer dan komplotannya memang sekelompok teroris.

Omar bingung. Sameer pun menceritakan keadaan yang sebenarnya.

Flashback. Beberapa hari setelah runtuhnya WTC, ribuan warga muslim di Amerika diciduk, dimasukkan ke dalam penjara dan dianiaya. Sameer salah satunya. Dia tidak tahu apa-apa. Tapi, faktanya dia diperlakukan seperti hewan di dalam penjara. Dituduh yang bukan-bukan. Ditelanjangi. Disiksa. Dikencingi. Diikat. Dan diberi makanan yang tak layak makan. Begitu sampai 9 bulan, para polisi setempat menyatakan Sameer tidak bersalah.

Sameer keluar penjara dalam keadaan stress dan depresi. Tapi, ada Maya yang selalu setia menemaninya. Berhari-hari dan untuk beberapa lama, Maya terus saja membangkitkan semangat hidup Sameer. Akhirnya, Maya dan Sameer menikah.

Sameer mulai sehat kembali. Tapi, ada sesuatu yang tumbuh dari dalam dirinya. Dendam. Balas dendam kepada orang-orang yang menangkap dan memperlakukan dirinya dengan seenaknya. Dia pergi menemui sebuah komplotan teroris (Orang-orang yang awalnya mengalami nasib yang sama dengan sameer di dalam penjara ketika dituduh sebagai biang runtuhnya WTC). Dengan dalih mengembalikan harga diri, mereka memberikan Sameer kesempatan untuk bergabung.

Mengenai profesinya sebagai teroris, Sameer tidak pernah memberitahu maya. Pernah satu kali, ia ingin memeberitahukan semuanya. Tapi, ketika itu pula Maya memberitahu bahwa ia sedang hamil. Hingga Omar masuk ke dalam kehidupan mereka, tidak ada yang menyinggung masalah teroris.

Omar dihadapkan pada siatuasi yang sangat sulit. Di satu sisi, ia harus membuktikan kepada FBI bahwa ia dan Sameer bukanlah teroris. Tapi, di sisi lain, Sameer memang seorang teroris. Omar dengan sekuat tenaganya berusaha mengembalikan Sameer ke jalan yang benar.

Sampai pada suatu ketika, Sameer ingin meledakkan sebuah gedung milik Amerika. Omar berusaha membatalkannya. Karena suatu hal yang menyangkut keamanan –menurut Sameer- Sameer membatalkan rencana tersebut. Omar lega.

Tapi, siapa sangka. Sameer –tanpa sepengetahuan Omar- tetap menjalankan misi peledakan tersebut. Targetnya adalah FBI. Omar terlambat tahu. Maya juga berada di gedung itu untuk meminta surat jaminan agar Sameer tidak dibunuh. Ternyata Maya telah mengetahui semuanya dari awal, bahwa Sameer adalah seorang teroris. Sameer telah memasang bom di gedung itu. Omar dan Maya berusaha menyadarkan Sameer untuk tidak meledakkan gedung itu. Sameer bergeming. FBI telah menyiapkan penembak jitu diatas helikopter. Entah apa yang merasuki pikiran Sameer waktu itu, yang jelas ia menjatuhkan pengendali bom itu dan mengembangkan tangannya seoleh menyerahkan dirinya untuk ditembak. Maya berlari mendekati Sameer. Para menembak mulai melesakkan pelurunya. Sameer tertembak. Maya juga tertembak.. Sedang Omar, yang telah berusaha mengejar Maya, dihalangi oleh Roshan. Tinggalah Omar sendiri. Tinggallah Daniel sendiri. Maya dan Sameer tewas.

Benar-benar kisah yang mengaharukan. Saya tidak bisa menjelaskan secara gamblang efek psikologis yang dibuat oleh film tersebut. Bagaiamana dari awal cerita, sang penggarp film menggambarkan keakraban Omar dan Maya. Maya dan Sameer. Sameer dan Omar. Bagaimana mereka begitu akrab berteman. Lalu bagaimana penderitaan yang dialami oleh Sameer di dalam penjara. Lalu bagaimana kisah tragis yang menimpa Sameer dan Maya dalam insiden penembakan itu. Benar-benar pintar. Saya terharu, sedih.

Satu pesan yang sapat saya tangkap bahwa yang melahirkan teroris itu adalah orang-orang yang selama ini berteriak untuk memerangi teroris. Mereka menangkap orang-orang yang diduga –hanya menduga saja- sebagai teroris, mencebloskan mereka ke dalam penjara dan menganiaya mereka. Siapa yang tak akan balas dendam jika diperlakukan seperti itu. Saya menyadari beberapa hal; bahwa tidak selamanya teroris itu salah. Bukalah pikiran terhadap hal-hal baru.

Pukul 03.40 dini hari. Kipas angin mengibarkan dingin dengan sangat kencang. Saatnya untuk makan sahur.

Ah, nanti, jika saya bisa tertidur, saya ingin bermimpi memerankan Omar dalam film tersebut. Tapi, saya ingin kejadian itu hanya dalam mimpi. Karena cita-cita saya dalam dunia nyata bukanlah ingin menjadi seorang aktor. Thanks God for everything you have done for me.

KARENA PANAS DAN RUANG SEGIEMPAT

Selasa, 24 Agustus 2010

Cuaca panas. matahari berjaya. sedang jaya-jayanya. mudah saja menginjak-injak ubun-ubun ketika dia lewat. kepala saya sakit tentu saja. tapi, mau apa. kalau tidak melewati panas, tentu tak akan sampai. ruang teduh tak selamanya seperti rantai. jalan saja terus. tanpa mampir. menghadang panas. melawan matahari. meski mata perih ditutupi keringat dari kepala. ah, keringat juga berjaya di tubuh saya. seenaknya saja menyembul-nyembul di permukaan kulit, bikin baju lembab, bikin muka tambah merah karena malu.

Jalan-jalan seperti fatamorgana kata orang-orang. benar-benar seperti genangan air. bikin haus saja. padahal sekarang bulan puasa. makan ditahan. minum ditahan. nafsu ditahan. lantas apa? kegiatan 'harus' tetap jalan. tenggorokan kering. kepala pening. perut mengkerut menahan lapar. kaki penat. badan ceking. lengkap sudah.

Orang-orang ada yang tahan. buktinya mereka tetap melawan. tak peduli dahaga dan panas di kepala. jalanan bukan hambatan. tapi, sebagian juga enggan menempuh jalan. bernaung di ruang yang nyaman. pakai ac. berkipas-kipas. atau, kalaupun terdesak mereka bisa pakai payung. satu hal; jalanan tetap saja ramai karena para pembangkang yang berani menantang matahari, juga orang-orang penakut. dan juga saya.

Saya masih jalan terus. sampai nafas saya seperti mau putus karena panas yang menggerus, tidak hanya kerongkongan tapi juga usus. tapi, tetap saja, saya harus jalan. karena sudah tidak tahan. saya berhenti sebentar. di tempat yang cukup nyaman. di sebuah ruang segiempat. tempat orang-orang biasa mengambil uang. ada kipas-kipas listriknya. sejuk. ruangan itu lengang. tak ada orang. lebih baik saya isi. biar bisa lebih bermanfaat. saya tak melakukan apa-apa di dalam. hanya berdiri, menikmati angin buatan yang sangat nyaman. menyusup pelan-pelan lewat atas, menyentuh rambut dan ubun-ubun, lalu permukaan kulit, seketika menggelitik tubuh saya. sangat nyaman. dinginnya membuat saya tak mau keluar. saya ingin di ruangan itu saja sampai ashar. kalau bisa sampai maghrib sudah digelar. biar pas buka saja saya keluar dan langsung menyambar minuman. tawarpun tak apa-apa.

Tapi sayang. Tuhan tak memberi waktu yang panjang untuk saya untuk bersenang-senang. seketika saya diusik. orang-orang di luar mengantri. entah untuk apa. mengecek uangkah? mengambil uangkah? atau sama seperti saya. sekedar melepas lelah saja di sana. saya tidak tahu. mereka melongok ke dalam, ke arah saya yang sedang PW tak terkira. saya pandang dia. dia mengetok pintu. saya pandang lagi. dia pandang lebih lama. saya tahu maksudnya. saya harus keluar. dengan senyum dikulum, saya tarik pintu sampai lebar, dan saya melangkah keluar.

Di luar panasnya bukan main. tanpa malu-malu mereka langsung saja menggerebeki saya dengan jarum-jarum gerah itu lagi. saya tak dapat berbuat apa-apa. saya bukan pengecut, maka dari itu saya tak bawa payung. saya tempuh saja. mau tak mau. saya harus sampai ditujuan. benar-benar pengalaman yang tak main-main. hanya berjarak seratus meter, saya sudah mempunyai pengalaman yang tak akan terlupakan.

Ah, terima kasih untuk orang-orang yang sudah membangun ruangan segiempat itu untuk saya berteduh. baik sekali. besok-besok bikin lebih banyak saja. biar orang lain juga tak mengganggu jika saya sedang di dalam. matahari semakin tajam saja giginya. siang makin panas saja.

Kamis, 26 Agustus 2010

PEREMPUAN-PEREMPUAN KERETA

Ramai sekali. Penuh sesak. Panas seketika menyeruak diantara tubuh-tubuh yang baru bergabung. Menutup-nutupi celah angin untuk masuk. Kursi-kursi itu pun telah penuh oleh penumpang. Bahkan telah banyak yang berdiri. Tak ada ruang sedikitpun untuk mengambil nafas dan menghirup udara segar dalam gerbong yang semakin sempit itu. Peluh-peluh lekas sekali munculnya tanpa permisi. Mungkin karena berdesak-desak saling dorong ketika akan naik tadi. Juga karena bersicepat dengan para pedagang-pedagang untuk menaiki kereta itu. Kelenjar keringat terpompa dengan gebu yang membakar seperti bara hingga menimbulkan panas dari dalam tubuh.

Perjalanan ini pasti akan menjadi sangat panjang, fikirku. Orang-orang semakin banyak saja yang berdiri dan berlalu lalang. Meninggalkan hawa yang kian panas. Kipas angin yang dipasang di atas gerbong, tak mampu berbuat apa-apa. Yang panas tetap saja membuat gerah dan keringat bertamu. Kipas-kipas dari bambu yang dijajakan penjualnya langsung laris manis. Baru naik saja, sang penjual kipas harus turun lagi, karena persediaan kipasnya telah habis. Laku keras, seperti membeli permen saja.


‘Kipas… kipas… kipasnya, Mbak…’ Seorang wanita penjual kipas menawarkan dagangannya padaku. Aku mengukir senyum dan memasang mimik menolak. Setelah itu, ia berdiri sebentar, -melepas penat, mungkin-,. Jelas sekali, baju kaosnya basah oleh keringat. Lehernya seolah air terjun, mengucur sebesar-besar biji jagung. Wajahnya merah disinari cahaya lampu putih. Dia mengusap keringat di seluruh permukaan wajah dengan punggung tangannya, lalu si wanita itu berlalu.


Maghrib menjelang malam. Di luar sudah gelap. Azan baru saja berlalu. Kereta akan berangkat sebentar lagi. Tak lama, pengap ini akan berakhir seraya kereta berjalan. Pintu-pintu kereta akan segera dipenuhi angin-angin yang memaksa masuk. Sebentar lagi, sesudah peluit panjang ini melengking.


Para pedagang berduyun-duyun turun, seperti peserta lomba lari yang hampir mencapai garis finis. Menyesak-nyesak diantara puluhan penumpang yang berdiri. Jika sedang berada di tengah gerbong, karena terhalang penumpang yang sesak, penjaja di atas kereta membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di pintu. Mereka tak mau terbawa sampai ke pemberhentian selanjutnya. Kereta lainnya hampir tiba. Ramai makin riuh saja. Peluit berisik. Pedagang berisik. Suara orang yang berkipas dan bercakap dengan kenalannya juga berisik. Berisik tambah berisik sama dengan berisik sekali, bagiku yang hanya sendiri melewati malam panjang ini.


Perlahan, dengan derak yang mengganggu telinga, berjalan juga ia. Perlahan, dengan sepoi, masuk juga ia. Beberapa nafas lega terdengar merayap dan menguap. Kemudian, hingar bingar lagi dengan suara-suara dari sudut ke sudut.

***

Benar saja. Perjalanan ini menjadi sangat panjang. Sejam dua jam pertama, belumlah berarti apa-apa. Derak dan desis kereta sesekali, juga remnya yang berdecit dan berhenti tiba-tiba merupakan kejutan yang mengejutkan juga. Dua buah buku tergeletak berserakan diatas meja kecil disamping kursiku, berbaur dengan sebotol minuman dan seplastik makanan ringan. Buku-buku yang awalnya kuharap dapat menghibur dan menemani perjalanan panjang pertama ini. ternyata tidak juga, pergunanya hanya sebentar saja, lalu bosan dan mengantuk. Rel yang seolah ada pengganjal membuat kereta tumpanganku sesekali melonjak-lonjak dan oleng. Aku juga melonjak-lonjak. Hatiku juga, terkejut dan melonjak-lonjak tak karuan.


Tiba-tiba aku ingat rumah. Ingat Ibu, dengan wajah kisutnya mengantarku hingga stasiun. Dia tersenyum, melambai-lambaikan tangannya ketika kereta mulai berjalan. Juga adik, yang mengamit tangan ibu. Binar mata tak mengertinya, menyentak-nyentak jantungku. Ah, Ibu. Ah, Adik.


‘Kau wanita. Apa yakin tidak akan apa-apa pergi sendirian?’ lagi-lagi Ibu melontarkan pertanyaan yang sama. Sudah aku bilang, tak apa-apa. Tapi, tadi, sebelum aku menaiki kereta, ibu kembali mengulang lagi wacana yang telah dibahas hampir beberapa kali. Aku tetap saja mengangguk, dengan percaya diri.


‘Bu, saya pasti bisa.’ Aku meyakinkan. Tangan Ibu kugenggam erat-erat. Ibu pasrah. Pasrah yang direla-relakan.

Lagi-lagi ibu datang dengan wajah yang sama. Dia datang dengan berlari. Melambai-lambaikan tangannya juga, tapi dengan berlari mengejar keretaku yang terus berlari juga. Sekencang apapun ibu mengejar, tetap saja ia akan kalah oleh kebut kereta. Tapi ia tetap saja, berlari. Melambai-lambai. Aku hanya melihat, tidak cemas. Tidak takut. Hanya nanar.


Ibu terjerembab, tertungkup. Aku hanya menatap ketertungkupan ibu. Kereta terus saja berjalan, tak peduli ibu tertungkup dan terjerembab. Lalu samar, seperti tertutup asap. Ibu tak tampak lagi. Aku masih saja tak berkedip tanpa emosi. Orang-orang tiba-tiba diam. Mereka sesak didalamnya, tapi tak ada suara.


Tiba-tiba pluit yang nyaring berbunyi agak panjang. Kereta melambat, juga dengan gesek-decit antara rel dengan besi kereta. Lalu berhenti sama sekali.


Seperti sekerubungan semut yang baru keluar dari sarang, mereka menyerbu. Aku tergagap. Puluhan perempuan dengan ragam yang berbeda memenuhi kereta. Seorang perempuan gemuk berbaju kaos lebar dan celana hawai, menjajakan kopi dan makanan ringan. Lalu, seorang lagi, gadis berpakaian ketat, dengan rambut diikat dan bedak yang memikat. Tangan kanan memanggut beberapa bungkus roti dan tangan kirinya menjinjing seplastik hitam penuh roti cadangan. Mereka berebut menyodor-nyodorkan dagangannya pada para penumpang. Juga, beberapa orang lagi. Nenek-nenek, kaum tua berumur enam puluh tujuh puluhan, dengan tongkat kayu di tangan. Mereka menitih dan menampungkan tangan pada para penumpang. Wajah keriput itu begitu tampak menghibakan. Sanggul rambut yang berantakan. Nafas yang separo-separo. Belum lagi, buntelan yang ada dipunggungnya. Berat. Aku yang merasa keberatan. Nafasku yang sesak seketika.


‘Kasihanilah, Mbak’ wajahnya memelas. Sangat, hampir menangis. Aku sangat kasihan, batinku. Lalu, kukeluarkan uang seribuan dari jaket dan kuletakkan di tangan layunya. Dia berjalan, berseliweran, berbaur dengan penumpang lainnya.


Pukul 01.00 dini hari. Perempuan-perempuan itu berebut nasib dari selembar rupiah para penumpang kereta. Berjalan dari gerbong satu ke gerbong lain. Berdesakan dengan para penumpang yang berdiri. Berlarian ketika peluit keberangkatan berbunyi. Kadang dilihat dengan sinis, kadang ada juga yang membeli.


Perempuan-perempuan kereta itu mengingatkanku pada ibu. Wajah ibu yang mengkerut, seperti nenek tua yang nafasnya separo-separo itu. Mereka berlari dan berkejaran dengan waktu seperti ibu yang mengejar keretaku, atau aku. Aku ingat ibu, yang tiba-tiba dia muncul sebagai sosok perempuan-perempuan kereta.

***

Selasa, 24 Agustus 2010

YANG TERTINGGAL

Kamu harus mengerti bahwa tugasmu telah selesai, sejak lama. Setahun lalu atau bahkan lebih. Serahkan tongkat estafet ini kepada yang muda dan biarkan mereka bekerja. Jangan selalu merongrong mereka dari belakang. Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Tanpa ada gangguan darimu. Kamu tahu, mereka merasa tak nyaman dengan sok keakrabanmu. Ingat itu. Hentikan tindakanmu yang tidak dewasa. Hentikan sikap yang menganggap bahwa kau masih perlu mengurus semuanya. Dan ku mohon hentikan sekarang juga. Kamu telah berjaya dahulu !!! Kamu tahu, aku benci kau begitu. Sangat benci. Kau seperti tidak sadar, akan pandangan sinis mereka untuk setiap tutur -yang kau anggap 'perhatian'- terlontar pada mereka. Sudahlah, aku kasihan padamu. sangat kasihan... Sebagai sesuatu yang selalu ada dalam dirimu, aku mohon sudahlah, masih ada banyak hal yang perlu kau lakukan. Yakinlah, semua telah tiba pada masa kau harus melupakan masa lalumu. Masa depan telah mengembangkan tangannya siap mendekapmu.

Apakah salah? aku hanya ingin balas jasa. Kau ingat, seperti apa aku dulu? apa aku seperti sekarang ini? aku yakin, kau tahu semua tentangku dan kau akan setuju bahwa ada yang berubah padaku. Dan itu bermula sejak aku disana. Kamu hanya tidak tahu, betapa mereka telah membesarkan aku. Kamu hanya tidak mengerti, bahwa karena merekalah aku seperti ini. Mungkin butuh waktu bagimu untuk mengerti. Akupun tak memaksamu untuk mengerti. Ingat itu. Apa kau juga akan menghalangiku untuk membalas semua kebaikan yang telah mereka berikan terhadapku. Dan perlu kau tahu, aku tidak peduli dengan tatapan sinis mereka. Niatku baik. Hanya berbagi.

Baik! telah berulang kali aku mengingatkanmu. Telah berulang mulut ini melontarkan hal yang sama. Jika kau tak ingin pahami, jika kau tak mau peduli, aku pun akan berhenti sampai disini. Lanjutkanlah bagimu kehidupanmu sendiri dan lepaskan aku. Biarkan aku mencari tempat yang lebih layak. Seseorang yang mau menerima kenyataan bahwa masa lalu telah berakhir. Dan setiap detik yang akan dilewati adalah masa depan. Tak ada masa lalu yang abadi. Semua hanya kenangan.

Pergilah. Akupun tak butuh kau. Dan ku tekankan, aku tak akan berhenti hingga aku yang ingin menyudahinya. Sungguh, kau tak kan pernah mengerti apapun. Yang kau tahu hanya logika. Kau tak akan memahami kehalusan perasaan manusia. Siapa kau?!

O…. Jadi kau anggap apa aku selama ini?! Aku yang selalu menemani sejak kau mampu membedakan warna hitam dan putih. Sejak saat kau mampu mengenal satu tambah satu sama dengan dua, bukan empat atau yang lainnya. Kau lupa, siapa yang mengingatkanmu saat kau khilaf. Siapa yang menyemangatimu saat kau jatuh dan terpuruk. Dan sekarang kau bertanya, siapa aku ? harus ku akui, kau masih anak-anak, bahkan lebih dari itu. Ternyata Tuhan salah mengirimku padamu. Untuk apa aku hidup bersama orang yang selalu terkurung dalam kerangkeng masa lalunya.

Hentikan ocehan yang tak berguna itu. Kalau mau pergi, berangkatlah sekarang juga.

Acuh. Beringas. Sinis. Semakin jengah. Berlagak tak peduli. Menjauh. Merenung. Dan pergi. Dan menangis.
Menyesal. Terisak. Membendung air mata. Meraung. Hujan dipelupuk mata. Ingin kembali. Ingin kembali. Malu. Malu. Kesepian. Kesepian.
***

Berat. Perpisahan ini terlalu cepat dan berat. Aku tak pernah membayangkan akan secepat ini. Aku tidak menyangka bahwa tiga tahun adalah waktu yang begitu singkat. Baru kemarin rasanya aku mendaftar sebagai siswa baru. Sekarang sudah tiba pula bagiku untuk berpisah. Semua merayakan kepergianku. Sedangkan aku masih ingin disini. Ada begitu banyak hal yang menggantung dan belum terselesaikan. Semua misi yang telah terjadwal masih tersisa beberapa. Haruskah berakhir sekarang. Aku tak ingin. Aku belum sanggup. Aku belum sanggup meninggalkan kenangan yang telah tercipta. Aku belum mampu melangkah dan menjauh dari sarang yang selama ini menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Belum untuk ini. Teman-temanku, para malaikatku, tak ada ungkapan yang lebih baik dari ini. Dan guru-guruku, yang tanpa lelah mengandung dan melahirkanku seperti ini. Dan organisasiku, yang mengajarkan aku akan siapa diriku. Dan misiku, semangat yang terkumpul dalam relung ini untuk membangkit semuanya. Dan sekolahku, dunia kecilku yang tak kalah dengan bumi. Maaf, aku belum siap untuk ini. Izinkan aku tinggal disini untuk satu atau dua tahun lagi. Aku janji tidak akan nakal. Aku tidak akan merepotkan kalian. Sudikah kalian menerimaku kembali ?

Apa daya. Waktu telah bersabda, meski tak ingin, segalanya harus berakhir disini. Perhelatan ini menghantarkan kami –tunas-tunas yang tumbuh di musim hujan- sampai penghujung jalan. Sepatah kata dari guru tersayang membawa kami –benih yang disemai dengan kasih sayang, meski kadang berbalas garang- menginjak pusat bumi. Terbenam dalam pesawangan beku, bagiku. Jabat perpisahan. Pelukan terakhir persaudaraan. Senyum manis persahabatan. Dan terakhir, suasana kelas nan ramai. Sukanya. Dukanya. Tertawanya. Pertengkarannya. Segalanya harus berakhir dan tak akan pernah terulang kembali. Persis seperti ini dan yang telah lalu selama tiga tahun ini.

Salahkah jika aku menangisi ini ? adakah seseorang yang menganggap ini sikap yang kekanak-kanakan? Terlalu bodohkah untuk seorang anak yang telah merayakan tujuh belasannya? biarlah. Ini luapan perasaanku. Tak ada yang mengetahui secara pasti bagaimana perasaan orang lain. Inilah bentuk kesedihan mendalamku yang berwujud.

Aku terduduk di bangku plastik berwarna biru. Dibawah lindungan tenda seputih awan. Kakiku berat untuk bergerak. Badan ini lelah, bukan hanya karena sibuk mengurus acara sampai sore ini, tapi ada sesuatu dalam hati yang membenam bagai batu. Berat. Lelah. Dihadapanku, manusia-manusia berbaju seragam lalu lalang, tertawa, berjabat tangan, berpelukan dan membuat kenangan. Alunan musik merdu, syahdu dan membuatku randu, mengalun lemah gemulai. Denting-denting perpisahan mengalir perlahan. Aroma akhir pertemuan tercium pekat. Langit gelap dan angin bersiul lambat.

Dan aku menangis. Aku benar-benar menangis. Untuk pertama kalinya, aku mengenal air mata. Aku malu, tentu saja. Terlalu menarik perhatian hingga beberapa dari teman-teman yang berseragam mendekat mendatangiku, mengusap punggungku, menenangkanku. Untunglah mereka mengerti. Tak menertawakanku. Keadaan ini membuatku kisruh, luluh. Aku ingin berteriak, hentikan perpisahan ini!!! Tapi tidak bisa. Sesak. Bulir bening itu tak henti mengalir di wajahku yang memerah. Lagi-lagi menarik perhatian. Kali ini para guru tersayang. Mereka merangkulku, memberiku sapu tangan penghapus air mata, mereka bawakan segelas air untuk mengurangi kegundahanku. Kau tahu, rasa sayang itu tak akan terbalas. Mereka menenangkanku, sementara perhatian itu membuatku semakin ingin meraung dan berteriak.

Akhirnya senja menutup semuanya. Tak ada lagi nyanyian sendu. Tak ada lagi wajah pilu. Tak ada lagi tawa. Tak ada lagi jabat tangan dan pelukan. Benar-benar berakhir. Yang tersisa hanya aku yang terpuruk dalam genangan kesedihan.
***

Buat guru-guru tersayang…

Apa kalian masih ingat bagaimana awal keberadaanku di sekolah ini ? aku kerdil, dekil, suka mencukil yang tak ternukil. Berhari, berminggu dan membilang bulan semua tetap sama. Lalu tahun pertama berlalu. Tingkahku masih seperti itu. Meski begitu, kalian selalu mengajarku dengan tulus seperti janji kalian kepada sang waktu. Kalian terus saja membimbingku ke jalan yang semestinya. Kalian ajak aku berkeliling rimba untuk menyadarkan akan keangkuhanku. Lalu, kalian terbangkan aku ke angkasa. Aku tahu, kalian ingin aku mencapai bintang. Bintang yang lebih tinggi dan lebih terang dari apa yang telah kalian capai.

Buat guru-guruku tersayang…

Terima kasih untuk setiap tetes ilmu yang telah kau tuangkan dalam cawan kehidupanku. Terima kasih untuk setiap kasih sayang yang kalian curahkan untukku. Dan terima kasih untuk semua benih kebaikan, aku yakin akan tumbuh subur kelak, untuk segala doa yang kalian tumpangkan dalam shalat malammu. Terima kasih. Terima kasih.

Aku sadar, aku salah. Dan aku berjanji aku akan berubah. Aku akan membuat kalian bangga dan tersenyum sumringah.

Mohon maaf atas segala kenakalan yang kulakukan. Mohon maaf atas segala kegaduhan yang kuciptakan. Maklumi semuanya. Semoga kalian mendapatkan tempat yang layak di masa depan. Aku percaya, Allah menghitung lipat ganda niat tulus kalian.
***

Teruntuk malaikat-malaikatku, sahabat-sahabat yang setia bersama dalam tiga masa…

Teman, kalian selalu membuatku tertawa jika kembali mengenang awal kita bersua. Wajah malu, kaku, dan tanpa rona. Diam. Hening. Dan hanya sesekali bersuara. Lalu waktu mengajak kita bercanda. Musim mengenalkan kita akan arti bersama, dalam tawa dan duka. Dari sanalah bermula cerita indah meski kadang berbumbu cuka.

Apa kau masih ingat, teman, tentang guru-guru praktek lapangan yang kita tertawakan bersama ??? hahaha… tentang guru yang mengusir kita karena telat masuk setelah jam istirahat. Kemudian, bagaimana dengan kenangan kita sewaktu mendekap sore dihalaman sekolah, ditemani wangi angin dari tebing, hijau pepohohan. Berlari bersama, dan tertawa bersama, tak lupa makan mie traktiran bersama…hahaha…

Teman, aku ingin menangis? Apa kalian juga?

Perpisahan setahun lalu menjauhkan kita. Tapi tidak dalam hatiku, kalian akan tetap ada. Tak kan terlupa. Apa kalian juga begitu?

Kapan kita akan seperti dulu lagi? apa ikatan ini akan terjaga selamanya? aku takut, kalian akan melupakan aku.

Terima kasih untuk senyumnya, jabat tangannya, rangkulan dan pelukan hangatnya…

PENYAMARAN MALAIKAT

Kota padang seperti tanpa selubung atmosfir. Cahaya matahari seolah langsung menerpa wajah bumi, yang sudah keriput dan terkelupas. Panas di siang terik di pertengahan musim kemarau. Daun-daun hijau yang menguning dan berubah coklat tertatih-tatih dan terjatuh di pelataran panas. Orang-orang –entah menghiraukan panas atau tidak- terus saja menembus gelanggang padang. Asap-asap kendaraan bercampur debu yang dihalau angin, menambah gerah tak tertahankan. Jalan-jalan beraspal menguapkan nyeri yang bersembunyi di telapak kaki. Dan hamparan negeri, dari detik sekarang ke detik berikutnya bertambah panas. Ulah kita jua, maka kita pulalah yang berhak merasakan ‘kenikmatan’ ini. Kenikmatan yang menyembul dari dalam perut bumi dan menghantam dari angkasa.

Peluh keringat bergerombolan menyesak keluar dari pori. Hampir seluruh tubuhku dipenuhi oleh hasil oksidasi biologis itu. Baju kemeja biru yang kukenakan, lembab dan menggambarkan pesona basah disana-disini. Panas bukan main. Dan aku harus menempuh jalanan beraspal tandus pohon pelindung, berjalan kaki menuju rumah kos. Jaraknya kira-kira tiga ratus meter dari kampus, tempatku mengais ilmu. Malangnya, aku bukanlah anak golongan ningrat hingga harus menyetop mikrolet dan membuang uang hanya untuk kenyamanan sesaat. Dengan lelah dan panas yang mendekap, langkah kaki ku seret jua.

Dari pintu gerbang, ku usahakan berjalan cepat-cepat. Tas beralih fungsi menjadi pelindung kepala. Benar-benar panas yang luar biasa, menusuk tajam seperti jarum runcing ke balik tengkorakku. Lalu lintas yang padat menghambat langkah ketika ingin menyeberang jalan. Dan akhirnya butuh waktu sepuluh menit untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan ini. Biasanya hanya memakan waktu lima sampai enam menit. Tapi syukurlah, sekurang-kurangnya kamar yang hanya berukuran tiga kali empat meter ini dapat melindungiku dengan atapnya.

12.45 WIB. Masih ada empat puluh lima menit lagi untuk tiba di stasiun kereta, dan kira-kira tiga jam berikutnya, keluarga telah dapat melihat kepulanganku. Siang ini adalah hari terakhir perkuliahan, tepatnya hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semester. Besok dan dua bulan berikutnya adalah masa-masa tenang setelah lima bulan lebih bergelut dengan segala tetek bengek tugas kuliah, tugas-tugas yang tak henti meluncur dari mulut dosen seperti mortir yang tak pernah lelah menghamburkan pelurunya. Tingkah polah mereka yang beragam juga tak jarang menjadi obat paling ampuh untuk menguruskan badan. Dan tanpa ku sadari, aku sendiri telah mengkonsumsinya. Setiap semesternya, kekurusanku semakin nyata terlihat. Semester lalu mereka mengambil empat kilo persediaan berat badanku dan sekarang mungkin lebih.

Aku tercenung sejenak membayangkan kamar kesayangan, tempatku beradu kesendirian dengan para cecak setiap malam, harus ku tinggalkan untuk waktu yang tak sebentar. Seperti di film-film, bayang-bayang kenangan selama beberapa bulan terakhir seolah tergambar di tiap sudut kamar. Rasa tak ingin pulang tiba-tiba menyeruak, berat meninggalkan kasur gabusku, rak-rak bukuku, dan canda disini. Meski hanya untuk beberapa puluh hari, tapi akan ada sesuatu yang hilang.

Tak lama, baju-baju kotor dan perlengkapan lain –yang sengaja tidak dicuci beberapa hari ini dan berencana dibawa pulang- segera ku kemasi, ku lipat baik-baik, dan kususun rapi didalam tas. Buku-buku yang berserakan di tempat tidur, ku letakkan kembali ke tempatnya. Ku pisahkan, mana yang buku pelajaran dan mana yang buku sampingan. Kamar mandi adalah tempat berikutnya yang akan dikunjungi setelah membereskan ‘kekacauan’ itu. Tak butuh waktu lama untuk membersihkan badan dan berpakaian kembali. Handuk yang masih lembab, juga ku gabungkan dengan teman-temannya.

Tinggal dua puluh menit lagi. Aku telah menyelesaikan semuanya. Tas yang berisi barang bawaan, segera kusandangkan ke punggung. Berat. Kemudian, sepatu kotor yang ku bungkus dengan plastik toko, ku jinjing dengan tangan kanan. Persiapan selesai. Sebelum benar-benar mengunci pintu, masih sempat ke kitari seluruh sudut kamar dengan mata lelahku. Dan akhirnya, segala kenangan akan terkurung hingga aku datang dan membukanya kembali.

Kulangkahkan kaki ke kamar sebelah. Sekedar untuk menyampaikan salam perpisahan kepada penghuni kos yang lain.

“Pulang dulu, Bang”

“Eh…mau pulang sekarang juga Ri?” Lelaki yang ku panggil Abang itu menoleh kaget. Mengalihkan pandangan kepadaku dan sesaat meninggalkan kesibukkannya. Dia tak pulang hari ini, karena masih ada urusan besok pagi dengan teman-temannya. Aktivis.

“Iya Bang. Sudah rindu berat dengan orang di kampung. Maklumlah bang, sudah satu semester ndak pulang”

“Rindu apa kangen?” Ujarnya mencandaiku. Aku hanya tersenyum tak menanggapi.

“Kalau begitu, duluan Bang. Oh ya, titip salam untuk Bang Ir dan Rudi. Assalamu’alaikum” Ucapku mengakhiri. Keduanya kebetulan sedang mengurus tugas di kampus.

“Ok. Hati-hati ya…Jadi juga sama kereta api?”

Hanya kubalas dengan anggukan dan seulas senyum. Kemudian berlalu ditemani bayangan akan kampung halaman.

***

Sekali lagi aku harus berhadapan dengan cuaca yang tak bersahabat itu. Tubuhku yang baru saja dibersihkan kembali diwarnai bercak keringat. Jarak ke stasiun kereta api adalah satu kilo lebih. Tak mungkin jika harus berjalan kaki. Tiga menit menunggu di trotoar sebuah angkutan kota berhenti tepat di depanku. Sopirnya menawarkan jasa. Tanpa basa-basi lagi, segera ku naiki. Segera ku henyakkan pinggul di kursi belakang karena hanya itu satu-satunya posisi yang tersisa. Selebihnya telah diisi oleh penumpang lain. Pengap menguap dari dalam mobil. Bau-bauan berbaur menghadirkan aroma tak sedap. Ditambah lagi, asap rokok dari bapak paruh baya yang duduk di sebelahku, membuatku mual. Tepat didepanku, seorang ibu menyemai senyuman padaku. Sedangkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Tak terlalu peduli.

Kendaraan berwarna putih bergaris-garis hijau muda itu perlahan melaju. Udara yang masuk agak membantu menghilangkan sesak yang memenuhi isi mobil. Aku duduk bersandar, memeriksa barang-barang kecil yang ada dalam tas. Kunci kamar, flashdisk dan catatan harian, ada. Bacaan yang kubeli kemarin tertidur lelap di antara baju-baju kumuh. Tak ada yang ketinggalan.

“Habis pulang kerja ya, Pak?” Sebuah pertanyaan menghentikan aktifitasku. Spontan, menoleh kepada si pembicara. Ternyata suara itu berasal dari ibu yang mengumbar senyum tadi. Senyumnya kini semakin jelas terurai diwarnai sederet giginya yang tak putih. Diimbangi pula dengan balutan pakaian yang dikenakan, tak bisa dikatakan bersih dan mendekati kumal bercorak noda disana-sini. Sehelai jilbab sorong berwarna merah tua yang melingkari wajahnya, hanya ala kadarnya, tak tertata dengan rapi. Jelas-jelas dia bukan seperti orang kebanyakan. Dia lebih seperti seorang perempuan yang mengais rezeki dengan meminta-minta pada para dermawan. Dugaan itu semakin diperkuat dengan sebuah ember kecil berwarna biru yang berada di tangan kirinya. Aku merasa agak aneh, menyaksikan semua itu. Tidak biasanya, ada orang yang tidak saling kenal bisa menegur sapa.

“Tidak bu, saya masih kuliah” Aku menjawab seadanya. Tak lupa, kuhadiahkan segaris senyum yang dibuat seindah mungkin. Kumunculkan mimik seramah yang kubisa.

“Oh, ibu kira sudah bekerja. Abis pakaiannya seperti orang yang baru pulang dari kantor” Nadanya riang mendekati merayu. Senyumnya masih merona. Pandangan matanya teduh menatapku. Pandangan yang menyimpan sejuta kenangan pahit dan mendalam. Mata yang sarat makna kegelisahan, kesedihan dan kerja keras. Namun dia berusaha berbicara dengan tenang, layaknya tak pernah terjadi apa-apa dengannya selama ini.

Kuteliti kembali busana yang kukenakan. Benarkah seperti orang sehabis bekerja. Tidak juga. Paduan kemeja biru berlengan pendek dan celana panjang hitam, tidak mutlak menandakan bahwa seseorang baru pulang bekerja. Tidak ada dasi. Tak ada yang istimewa. Apalagi untuk seukuran ‘bekerja’ yang dia maksudkan. Lagipula, aku memakai sandal jepit, tidakkah dia melihat? Aku ulang menatapnya, dan berusaha mencari jawaban yang tepat untuk mengimbangi alasannya tadi. Tapi tak ada celah untuk menjawab. Dia kembali bertanya;

“Kuliah dimana, Nak? Semester berapa?” Kata sapaannya berubah. Tak disangka dia akan terus menyerbuku dengan pertanyaan seperti itu. Ini adalah pertemuan pertama antara aku dan dia, tak mungkin akan menghadirkan suasana akrab yang dia inginkan. Bagiku ini suatu hal yang tak biasa. Sedangkan dia tampak tak peduli dengan keterasinganku.

“Baru semester dua di UNP” Jawabku yang dibarengi sahutan ‘oo’ dari lawan bicara. Kuharap itu akan jadi pertanyaan terakhir. Aku lebih suka mencatat puluhan halaman tugas yang diberikan dosen daripada harus ‘dipreteli’ dengan pertanyaan-pertanyaan itu, dari orang yang tak ku kenal pula.

Tapi tidak, satu kalimat lagi meluncur dari mulutnya

“Rajin-rajin saja kuliah, nanti kalau sudah tamat supaya bisa bekerja dan hidup enak. Ngomong-ngomong, sudah punya pacar belum nih ?”

Hah!. Pertanyaan apa itu. Disatu sisi, aku dapat menerima nasehat darinya. Namun, pertanyaan terakhir itu membuatku tersedak. Apa perlunya bertanya hal-hal semacam itu. Siapa dia, hingga berani-beraninya bertanya hal yang sangat pribadi itu, pada seseorang yang baru sekali bertemu di atas mikrolet. Aku menjadi jengkel juga. Namun lidah ini masih dipaksakan memberikan jawaban yang ku harap tak menimbulkan komunikasi lebih jauh lagi.

“Belum, Buk…”

“Ah yang benar? Masa’ orang seganteng anak ini belum punya pacar? Biasanya orang-orang kuliah sebesar anak ini sudah punya pacar” Kembali dia memborbardirku. Hiroshima dan Nagashaki meletus di lubang telingaku. Gendangnya pecah. Petir bermain-main di atas kepalaku. Sedang hatiku, kesal bukan kepalang. Setitik kata ‘ganteng’ yang mengobati sedikit kekesalan. Bercampur aduk. Jengkel, tapi tak kuasa marah. Buat apa dia ingin tahu masalah pribadiku. Terserah orang mau punya pacar atau tidak. Pentingkah buat dia. Perlukah bagi orang yang baru pertama kali kutemui. Jangankan mengenalku, namaku saja dia tak tahu. Ada-ada saja.

“Iya belum. Saya ingin konsentrasi kuliah dulu dan belum memikirkan tentang itu” Ku jawab dengan penekanan keras pada satu kata terakhir. Karena kejengkelan yang telah sampai pada ambang batas, ku alihkan pendangan ke luar. Tak menatap dia lagi. Untuk apa meladeninya? toh, dia akan memberikan pertanyaan aneh dan lebih aneh lagi dan lagi. Terus begitu sampai menyulut kemarahanku.

Rumah-rumah berlari dalam ketertinggalannya. Sesekali, mikrolet berhenti di simpang atau di tepi jalan menurunkan penumpang. Yang sudah turun, hampir separuh. Aku bisa sedikit mengambil nafas. Kugeser posisiku agak ke depan. Mobil terus mengukur jalan, hingga sesaat nanti juga akan berhenti kembali.

Suasana luar tak lebih panas dengan hatiku saat ini. Terbakar. Bosan dengan pemandangan luar, ku paksa pikiran agar tak mengalihkan pandangan ke si ibu rewel itu. Kusibukkan diri dengan membuka-buka tas seolah mencari-cari sesuatu padahal tak ada yang perlu ku cari. Setelah lama, aku merasakan sesuatu menyentuh tanganku.

“Ambillah, anggap ini rezeki dari Tuhan” Si ibu menitipkan sesuatu di telapak tanganku. Dan setelah ku lirik sesaat, sehelai uang kertas seribuan remuk dari dalam genggamannya.

“Apa ini bu?” Ku gambarkan wajah dengan nada penuh tanya. Seolah membalas tingkahku tadi, sekarang dia beralih tak acuh. Sambil menatap jauh ke depan dia menjawab:

“Ambil saja. Ibu sedang ada rezeki”

Aku tak bisa menerima ini. Untuk apa? Atas dasar apa dia memberikannya. Aku kembalikan uang itu kepadanya. Tapi dia menepis tanganku dan mengulang pernyataannya serta menambahkan, “Jangan menolak rezeki, itu tidak baik” Senyumnya begitu tulus. Bagai ada malaikat yang menjatuh-jatuhkan salju di atas kepalanya. Sejuk. Seluruh penampilannya berubah seperti Cinderella yang disulap menjadi putri.

Aku hanya termangu. Terpana. Terdiam. Logikaku tak dapat berpikir apa-apa. Runyam. Beragam pertanyaan dan berbagai pernyataan berloncat-loncatan dalam otak. Tapi, tak kuasa melompat keluar. Yang ada hanya kebisuan. Kebingungan memenuhi setiap jengkal ruang pikiran. Benar-benar tak dapat diterima. Apapun alasannya, mana mungkin ini terjadi. Pasalnya, orang yang seharusnya aku bantu, malah berbalik memberi dan yang aku sesali, tanpa alasan yang jelas. Walaupun dia ikhlas, bukankah uang itu lebih baik dia gunakan untuk keperluan lain. Mungkin itu akan sangat berguna, mengingat jerih payah yang dilakukannya untuk mendapatkan uang itu. Dia harus mengorbankan seluruh harga diri dan menampung sedikit kebaikan dari begitu banyaknya orang-orang yang lebih baik darinya. Sekali lagi, aku merasa tak pantas menerima uang itu. Tapi, apa yang dapat aku lakukan. Ironis.

Kali ini, aku trenyuh. Ku tatap wajahnya dalam-dalam dengan harapan dapat menemukan alasan nyata atas apa yang baru saja dia lakukan padaku. Tetap saja, dia tak pernah menoleh padaku lagi. Aku seperti ditinggalkan dalam dekapan kesendirian dan rasa bersalah. Seketika, algojo-algojo bertampang hitam seram mengelilingiku sambil mengacung-acungkan senjatanya. Mobil itu serasa sel penjara. Dan dengan tangan terborgol, aku meringkuk disudutnya. Sedang penumpang lainnya seperti tak pernah ada. Seolah tak pernah memperhatikan peristiwa yang baru saja terjadi.

Aku malu. Segan atas apa yang baru saja terjadi. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dada. Bergolak sangat dahsyat. Mengingat atas apa yang terjadi selama ini. Kita yang berkecukupan, tak sedikit yang memandang sebelah mata pada para pengais rezki itu dengan tatapan yang kadang sangat mengiris hati mereka. Tapi, apa yang terjadi sekarang, sebentar ini, dan aku sendiri yang mengalami, seorang ibu yang untuk makan saja kadang ada kadang tidak, mau berikhlas hati berbagi rezki dengan sesamanya bahkan denganku. Uang seribuan tentu saja merupakan nominal yang besar bagi mereka. Tragis benar nasib mereka yang berkecukupan namun hampa solidaritas. Aku merasa kecil selama ini. Kecil sekali.

Tiba-tiba dia melihat sesuatu dari arah balik kaca sebelah luar. Bergegas memanggil sang sopir untuk menghentikan mobil. Kepanikan terpancar dari wajah kumalnya, yang kini bersinar sebening embun di mataku. Dia terus saja menatap keluar seolah tak mau kehilangan sesuatu yang di luar itu. Kemudian dengan tergesa dia melompat turun dan membayar ongkosnya.

Sebelum mobil kembali berjalan, masih kuperhatikan dia. Sekilas, kulihat ia berlari kecil mencari sesuatu tapi setelah itu menghilang di balik keramaian, di balik puluhan mobil yang berlalu lalang di sekitarnya. Dan dia hilang, tapi kebaikannya akan tetap ada.

Dan aku, tingggallah sendiri. Masih mencari jawaban yang tak akan pernah ku temukan kepastiannnya. Kuhamparkan uang seribuan itu di telapak tangan dan meneliti kembali, jikalau ada pesan yang dia titipkan. Tapi, uang itu seperti uang seribuan lainnya. Tak ada coretan apa-apa.

Mobil melaju. Kencang menuju perhentian berikutnya. Panas mengajarkanku untuk bersabar akan semua derita yang ada. Dan ibu itu telah memberiku sesuatu yang tak akan pernah aku dapatkan dimanapun. Atau mungkin saja, dia adalah malaikat yang sengaja menyamar untuk mengingatkannku?

***

Esok;

“Bu, Kemarin sewaktu akan pulang, Ari diberi uang oleh seorang pengemis”

“Lalu, waang terima uangnya?”

“Iya…”

“Buang saja uang itu. Mungkin saja itu ubek yang dikirimkan ke waang” Ibu marah, memaksa membuang itu.

“ …??? ”

*selesai*

Cerita pendek yang awalnya berjudul 'Ada Malaikat di Jalanan' ini telah dibukukan oleh Perpustakaan Daerah Sumatera Barat dalam kumpulan Cerpen Penulis Pemula 'Cerita Sesudah Keramaian' pada awal tahun 2010