Kamis, 26 Agustus 2010

PEREMPUAN-PEREMPUAN KERETA

Ramai sekali. Penuh sesak. Panas seketika menyeruak diantara tubuh-tubuh yang baru bergabung. Menutup-nutupi celah angin untuk masuk. Kursi-kursi itu pun telah penuh oleh penumpang. Bahkan telah banyak yang berdiri. Tak ada ruang sedikitpun untuk mengambil nafas dan menghirup udara segar dalam gerbong yang semakin sempit itu. Peluh-peluh lekas sekali munculnya tanpa permisi. Mungkin karena berdesak-desak saling dorong ketika akan naik tadi. Juga karena bersicepat dengan para pedagang-pedagang untuk menaiki kereta itu. Kelenjar keringat terpompa dengan gebu yang membakar seperti bara hingga menimbulkan panas dari dalam tubuh.

Perjalanan ini pasti akan menjadi sangat panjang, fikirku. Orang-orang semakin banyak saja yang berdiri dan berlalu lalang. Meninggalkan hawa yang kian panas. Kipas angin yang dipasang di atas gerbong, tak mampu berbuat apa-apa. Yang panas tetap saja membuat gerah dan keringat bertamu. Kipas-kipas dari bambu yang dijajakan penjualnya langsung laris manis. Baru naik saja, sang penjual kipas harus turun lagi, karena persediaan kipasnya telah habis. Laku keras, seperti membeli permen saja.


‘Kipas… kipas… kipasnya, Mbak…’ Seorang wanita penjual kipas menawarkan dagangannya padaku. Aku mengukir senyum dan memasang mimik menolak. Setelah itu, ia berdiri sebentar, -melepas penat, mungkin-,. Jelas sekali, baju kaosnya basah oleh keringat. Lehernya seolah air terjun, mengucur sebesar-besar biji jagung. Wajahnya merah disinari cahaya lampu putih. Dia mengusap keringat di seluruh permukaan wajah dengan punggung tangannya, lalu si wanita itu berlalu.


Maghrib menjelang malam. Di luar sudah gelap. Azan baru saja berlalu. Kereta akan berangkat sebentar lagi. Tak lama, pengap ini akan berakhir seraya kereta berjalan. Pintu-pintu kereta akan segera dipenuhi angin-angin yang memaksa masuk. Sebentar lagi, sesudah peluit panjang ini melengking.


Para pedagang berduyun-duyun turun, seperti peserta lomba lari yang hampir mencapai garis finis. Menyesak-nyesak diantara puluhan penumpang yang berdiri. Jika sedang berada di tengah gerbong, karena terhalang penumpang yang sesak, penjaja di atas kereta membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai di pintu. Mereka tak mau terbawa sampai ke pemberhentian selanjutnya. Kereta lainnya hampir tiba. Ramai makin riuh saja. Peluit berisik. Pedagang berisik. Suara orang yang berkipas dan bercakap dengan kenalannya juga berisik. Berisik tambah berisik sama dengan berisik sekali, bagiku yang hanya sendiri melewati malam panjang ini.


Perlahan, dengan derak yang mengganggu telinga, berjalan juga ia. Perlahan, dengan sepoi, masuk juga ia. Beberapa nafas lega terdengar merayap dan menguap. Kemudian, hingar bingar lagi dengan suara-suara dari sudut ke sudut.

***

Benar saja. Perjalanan ini menjadi sangat panjang. Sejam dua jam pertama, belumlah berarti apa-apa. Derak dan desis kereta sesekali, juga remnya yang berdecit dan berhenti tiba-tiba merupakan kejutan yang mengejutkan juga. Dua buah buku tergeletak berserakan diatas meja kecil disamping kursiku, berbaur dengan sebotol minuman dan seplastik makanan ringan. Buku-buku yang awalnya kuharap dapat menghibur dan menemani perjalanan panjang pertama ini. ternyata tidak juga, pergunanya hanya sebentar saja, lalu bosan dan mengantuk. Rel yang seolah ada pengganjal membuat kereta tumpanganku sesekali melonjak-lonjak dan oleng. Aku juga melonjak-lonjak. Hatiku juga, terkejut dan melonjak-lonjak tak karuan.


Tiba-tiba aku ingat rumah. Ingat Ibu, dengan wajah kisutnya mengantarku hingga stasiun. Dia tersenyum, melambai-lambaikan tangannya ketika kereta mulai berjalan. Juga adik, yang mengamit tangan ibu. Binar mata tak mengertinya, menyentak-nyentak jantungku. Ah, Ibu. Ah, Adik.


‘Kau wanita. Apa yakin tidak akan apa-apa pergi sendirian?’ lagi-lagi Ibu melontarkan pertanyaan yang sama. Sudah aku bilang, tak apa-apa. Tapi, tadi, sebelum aku menaiki kereta, ibu kembali mengulang lagi wacana yang telah dibahas hampir beberapa kali. Aku tetap saja mengangguk, dengan percaya diri.


‘Bu, saya pasti bisa.’ Aku meyakinkan. Tangan Ibu kugenggam erat-erat. Ibu pasrah. Pasrah yang direla-relakan.

Lagi-lagi ibu datang dengan wajah yang sama. Dia datang dengan berlari. Melambai-lambaikan tangannya juga, tapi dengan berlari mengejar keretaku yang terus berlari juga. Sekencang apapun ibu mengejar, tetap saja ia akan kalah oleh kebut kereta. Tapi ia tetap saja, berlari. Melambai-lambai. Aku hanya melihat, tidak cemas. Tidak takut. Hanya nanar.


Ibu terjerembab, tertungkup. Aku hanya menatap ketertungkupan ibu. Kereta terus saja berjalan, tak peduli ibu tertungkup dan terjerembab. Lalu samar, seperti tertutup asap. Ibu tak tampak lagi. Aku masih saja tak berkedip tanpa emosi. Orang-orang tiba-tiba diam. Mereka sesak didalamnya, tapi tak ada suara.


Tiba-tiba pluit yang nyaring berbunyi agak panjang. Kereta melambat, juga dengan gesek-decit antara rel dengan besi kereta. Lalu berhenti sama sekali.


Seperti sekerubungan semut yang baru keluar dari sarang, mereka menyerbu. Aku tergagap. Puluhan perempuan dengan ragam yang berbeda memenuhi kereta. Seorang perempuan gemuk berbaju kaos lebar dan celana hawai, menjajakan kopi dan makanan ringan. Lalu, seorang lagi, gadis berpakaian ketat, dengan rambut diikat dan bedak yang memikat. Tangan kanan memanggut beberapa bungkus roti dan tangan kirinya menjinjing seplastik hitam penuh roti cadangan. Mereka berebut menyodor-nyodorkan dagangannya pada para penumpang. Juga, beberapa orang lagi. Nenek-nenek, kaum tua berumur enam puluh tujuh puluhan, dengan tongkat kayu di tangan. Mereka menitih dan menampungkan tangan pada para penumpang. Wajah keriput itu begitu tampak menghibakan. Sanggul rambut yang berantakan. Nafas yang separo-separo. Belum lagi, buntelan yang ada dipunggungnya. Berat. Aku yang merasa keberatan. Nafasku yang sesak seketika.


‘Kasihanilah, Mbak’ wajahnya memelas. Sangat, hampir menangis. Aku sangat kasihan, batinku. Lalu, kukeluarkan uang seribuan dari jaket dan kuletakkan di tangan layunya. Dia berjalan, berseliweran, berbaur dengan penumpang lainnya.


Pukul 01.00 dini hari. Perempuan-perempuan itu berebut nasib dari selembar rupiah para penumpang kereta. Berjalan dari gerbong satu ke gerbong lain. Berdesakan dengan para penumpang yang berdiri. Berlarian ketika peluit keberangkatan berbunyi. Kadang dilihat dengan sinis, kadang ada juga yang membeli.


Perempuan-perempuan kereta itu mengingatkanku pada ibu. Wajah ibu yang mengkerut, seperti nenek tua yang nafasnya separo-separo itu. Mereka berlari dan berkejaran dengan waktu seperti ibu yang mengejar keretaku, atau aku. Aku ingat ibu, yang tiba-tiba dia muncul sebagai sosok perempuan-perempuan kereta.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar