Selasa, 24 Agustus 2010

PENYAMARAN MALAIKAT

Kota padang seperti tanpa selubung atmosfir. Cahaya matahari seolah langsung menerpa wajah bumi, yang sudah keriput dan terkelupas. Panas di siang terik di pertengahan musim kemarau. Daun-daun hijau yang menguning dan berubah coklat tertatih-tatih dan terjatuh di pelataran panas. Orang-orang –entah menghiraukan panas atau tidak- terus saja menembus gelanggang padang. Asap-asap kendaraan bercampur debu yang dihalau angin, menambah gerah tak tertahankan. Jalan-jalan beraspal menguapkan nyeri yang bersembunyi di telapak kaki. Dan hamparan negeri, dari detik sekarang ke detik berikutnya bertambah panas. Ulah kita jua, maka kita pulalah yang berhak merasakan ‘kenikmatan’ ini. Kenikmatan yang menyembul dari dalam perut bumi dan menghantam dari angkasa.

Peluh keringat bergerombolan menyesak keluar dari pori. Hampir seluruh tubuhku dipenuhi oleh hasil oksidasi biologis itu. Baju kemeja biru yang kukenakan, lembab dan menggambarkan pesona basah disana-disini. Panas bukan main. Dan aku harus menempuh jalanan beraspal tandus pohon pelindung, berjalan kaki menuju rumah kos. Jaraknya kira-kira tiga ratus meter dari kampus, tempatku mengais ilmu. Malangnya, aku bukanlah anak golongan ningrat hingga harus menyetop mikrolet dan membuang uang hanya untuk kenyamanan sesaat. Dengan lelah dan panas yang mendekap, langkah kaki ku seret jua.

Dari pintu gerbang, ku usahakan berjalan cepat-cepat. Tas beralih fungsi menjadi pelindung kepala. Benar-benar panas yang luar biasa, menusuk tajam seperti jarum runcing ke balik tengkorakku. Lalu lintas yang padat menghambat langkah ketika ingin menyeberang jalan. Dan akhirnya butuh waktu sepuluh menit untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan ini. Biasanya hanya memakan waktu lima sampai enam menit. Tapi syukurlah, sekurang-kurangnya kamar yang hanya berukuran tiga kali empat meter ini dapat melindungiku dengan atapnya.

12.45 WIB. Masih ada empat puluh lima menit lagi untuk tiba di stasiun kereta, dan kira-kira tiga jam berikutnya, keluarga telah dapat melihat kepulanganku. Siang ini adalah hari terakhir perkuliahan, tepatnya hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semester. Besok dan dua bulan berikutnya adalah masa-masa tenang setelah lima bulan lebih bergelut dengan segala tetek bengek tugas kuliah, tugas-tugas yang tak henti meluncur dari mulut dosen seperti mortir yang tak pernah lelah menghamburkan pelurunya. Tingkah polah mereka yang beragam juga tak jarang menjadi obat paling ampuh untuk menguruskan badan. Dan tanpa ku sadari, aku sendiri telah mengkonsumsinya. Setiap semesternya, kekurusanku semakin nyata terlihat. Semester lalu mereka mengambil empat kilo persediaan berat badanku dan sekarang mungkin lebih.

Aku tercenung sejenak membayangkan kamar kesayangan, tempatku beradu kesendirian dengan para cecak setiap malam, harus ku tinggalkan untuk waktu yang tak sebentar. Seperti di film-film, bayang-bayang kenangan selama beberapa bulan terakhir seolah tergambar di tiap sudut kamar. Rasa tak ingin pulang tiba-tiba menyeruak, berat meninggalkan kasur gabusku, rak-rak bukuku, dan canda disini. Meski hanya untuk beberapa puluh hari, tapi akan ada sesuatu yang hilang.

Tak lama, baju-baju kotor dan perlengkapan lain –yang sengaja tidak dicuci beberapa hari ini dan berencana dibawa pulang- segera ku kemasi, ku lipat baik-baik, dan kususun rapi didalam tas. Buku-buku yang berserakan di tempat tidur, ku letakkan kembali ke tempatnya. Ku pisahkan, mana yang buku pelajaran dan mana yang buku sampingan. Kamar mandi adalah tempat berikutnya yang akan dikunjungi setelah membereskan ‘kekacauan’ itu. Tak butuh waktu lama untuk membersihkan badan dan berpakaian kembali. Handuk yang masih lembab, juga ku gabungkan dengan teman-temannya.

Tinggal dua puluh menit lagi. Aku telah menyelesaikan semuanya. Tas yang berisi barang bawaan, segera kusandangkan ke punggung. Berat. Kemudian, sepatu kotor yang ku bungkus dengan plastik toko, ku jinjing dengan tangan kanan. Persiapan selesai. Sebelum benar-benar mengunci pintu, masih sempat ke kitari seluruh sudut kamar dengan mata lelahku. Dan akhirnya, segala kenangan akan terkurung hingga aku datang dan membukanya kembali.

Kulangkahkan kaki ke kamar sebelah. Sekedar untuk menyampaikan salam perpisahan kepada penghuni kos yang lain.

“Pulang dulu, Bang”

“Eh…mau pulang sekarang juga Ri?” Lelaki yang ku panggil Abang itu menoleh kaget. Mengalihkan pandangan kepadaku dan sesaat meninggalkan kesibukkannya. Dia tak pulang hari ini, karena masih ada urusan besok pagi dengan teman-temannya. Aktivis.

“Iya Bang. Sudah rindu berat dengan orang di kampung. Maklumlah bang, sudah satu semester ndak pulang”

“Rindu apa kangen?” Ujarnya mencandaiku. Aku hanya tersenyum tak menanggapi.

“Kalau begitu, duluan Bang. Oh ya, titip salam untuk Bang Ir dan Rudi. Assalamu’alaikum” Ucapku mengakhiri. Keduanya kebetulan sedang mengurus tugas di kampus.

“Ok. Hati-hati ya…Jadi juga sama kereta api?”

Hanya kubalas dengan anggukan dan seulas senyum. Kemudian berlalu ditemani bayangan akan kampung halaman.

***

Sekali lagi aku harus berhadapan dengan cuaca yang tak bersahabat itu. Tubuhku yang baru saja dibersihkan kembali diwarnai bercak keringat. Jarak ke stasiun kereta api adalah satu kilo lebih. Tak mungkin jika harus berjalan kaki. Tiga menit menunggu di trotoar sebuah angkutan kota berhenti tepat di depanku. Sopirnya menawarkan jasa. Tanpa basa-basi lagi, segera ku naiki. Segera ku henyakkan pinggul di kursi belakang karena hanya itu satu-satunya posisi yang tersisa. Selebihnya telah diisi oleh penumpang lain. Pengap menguap dari dalam mobil. Bau-bauan berbaur menghadirkan aroma tak sedap. Ditambah lagi, asap rokok dari bapak paruh baya yang duduk di sebelahku, membuatku mual. Tepat didepanku, seorang ibu menyemai senyuman padaku. Sedangkan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Tak terlalu peduli.

Kendaraan berwarna putih bergaris-garis hijau muda itu perlahan melaju. Udara yang masuk agak membantu menghilangkan sesak yang memenuhi isi mobil. Aku duduk bersandar, memeriksa barang-barang kecil yang ada dalam tas. Kunci kamar, flashdisk dan catatan harian, ada. Bacaan yang kubeli kemarin tertidur lelap di antara baju-baju kumuh. Tak ada yang ketinggalan.

“Habis pulang kerja ya, Pak?” Sebuah pertanyaan menghentikan aktifitasku. Spontan, menoleh kepada si pembicara. Ternyata suara itu berasal dari ibu yang mengumbar senyum tadi. Senyumnya kini semakin jelas terurai diwarnai sederet giginya yang tak putih. Diimbangi pula dengan balutan pakaian yang dikenakan, tak bisa dikatakan bersih dan mendekati kumal bercorak noda disana-sini. Sehelai jilbab sorong berwarna merah tua yang melingkari wajahnya, hanya ala kadarnya, tak tertata dengan rapi. Jelas-jelas dia bukan seperti orang kebanyakan. Dia lebih seperti seorang perempuan yang mengais rezeki dengan meminta-minta pada para dermawan. Dugaan itu semakin diperkuat dengan sebuah ember kecil berwarna biru yang berada di tangan kirinya. Aku merasa agak aneh, menyaksikan semua itu. Tidak biasanya, ada orang yang tidak saling kenal bisa menegur sapa.

“Tidak bu, saya masih kuliah” Aku menjawab seadanya. Tak lupa, kuhadiahkan segaris senyum yang dibuat seindah mungkin. Kumunculkan mimik seramah yang kubisa.

“Oh, ibu kira sudah bekerja. Abis pakaiannya seperti orang yang baru pulang dari kantor” Nadanya riang mendekati merayu. Senyumnya masih merona. Pandangan matanya teduh menatapku. Pandangan yang menyimpan sejuta kenangan pahit dan mendalam. Mata yang sarat makna kegelisahan, kesedihan dan kerja keras. Namun dia berusaha berbicara dengan tenang, layaknya tak pernah terjadi apa-apa dengannya selama ini.

Kuteliti kembali busana yang kukenakan. Benarkah seperti orang sehabis bekerja. Tidak juga. Paduan kemeja biru berlengan pendek dan celana panjang hitam, tidak mutlak menandakan bahwa seseorang baru pulang bekerja. Tidak ada dasi. Tak ada yang istimewa. Apalagi untuk seukuran ‘bekerja’ yang dia maksudkan. Lagipula, aku memakai sandal jepit, tidakkah dia melihat? Aku ulang menatapnya, dan berusaha mencari jawaban yang tepat untuk mengimbangi alasannya tadi. Tapi tak ada celah untuk menjawab. Dia kembali bertanya;

“Kuliah dimana, Nak? Semester berapa?” Kata sapaannya berubah. Tak disangka dia akan terus menyerbuku dengan pertanyaan seperti itu. Ini adalah pertemuan pertama antara aku dan dia, tak mungkin akan menghadirkan suasana akrab yang dia inginkan. Bagiku ini suatu hal yang tak biasa. Sedangkan dia tampak tak peduli dengan keterasinganku.

“Baru semester dua di UNP” Jawabku yang dibarengi sahutan ‘oo’ dari lawan bicara. Kuharap itu akan jadi pertanyaan terakhir. Aku lebih suka mencatat puluhan halaman tugas yang diberikan dosen daripada harus ‘dipreteli’ dengan pertanyaan-pertanyaan itu, dari orang yang tak ku kenal pula.

Tapi tidak, satu kalimat lagi meluncur dari mulutnya

“Rajin-rajin saja kuliah, nanti kalau sudah tamat supaya bisa bekerja dan hidup enak. Ngomong-ngomong, sudah punya pacar belum nih ?”

Hah!. Pertanyaan apa itu. Disatu sisi, aku dapat menerima nasehat darinya. Namun, pertanyaan terakhir itu membuatku tersedak. Apa perlunya bertanya hal-hal semacam itu. Siapa dia, hingga berani-beraninya bertanya hal yang sangat pribadi itu, pada seseorang yang baru sekali bertemu di atas mikrolet. Aku menjadi jengkel juga. Namun lidah ini masih dipaksakan memberikan jawaban yang ku harap tak menimbulkan komunikasi lebih jauh lagi.

“Belum, Buk…”

“Ah yang benar? Masa’ orang seganteng anak ini belum punya pacar? Biasanya orang-orang kuliah sebesar anak ini sudah punya pacar” Kembali dia memborbardirku. Hiroshima dan Nagashaki meletus di lubang telingaku. Gendangnya pecah. Petir bermain-main di atas kepalaku. Sedang hatiku, kesal bukan kepalang. Setitik kata ‘ganteng’ yang mengobati sedikit kekesalan. Bercampur aduk. Jengkel, tapi tak kuasa marah. Buat apa dia ingin tahu masalah pribadiku. Terserah orang mau punya pacar atau tidak. Pentingkah buat dia. Perlukah bagi orang yang baru pertama kali kutemui. Jangankan mengenalku, namaku saja dia tak tahu. Ada-ada saja.

“Iya belum. Saya ingin konsentrasi kuliah dulu dan belum memikirkan tentang itu” Ku jawab dengan penekanan keras pada satu kata terakhir. Karena kejengkelan yang telah sampai pada ambang batas, ku alihkan pendangan ke luar. Tak menatap dia lagi. Untuk apa meladeninya? toh, dia akan memberikan pertanyaan aneh dan lebih aneh lagi dan lagi. Terus begitu sampai menyulut kemarahanku.

Rumah-rumah berlari dalam ketertinggalannya. Sesekali, mikrolet berhenti di simpang atau di tepi jalan menurunkan penumpang. Yang sudah turun, hampir separuh. Aku bisa sedikit mengambil nafas. Kugeser posisiku agak ke depan. Mobil terus mengukur jalan, hingga sesaat nanti juga akan berhenti kembali.

Suasana luar tak lebih panas dengan hatiku saat ini. Terbakar. Bosan dengan pemandangan luar, ku paksa pikiran agar tak mengalihkan pandangan ke si ibu rewel itu. Kusibukkan diri dengan membuka-buka tas seolah mencari-cari sesuatu padahal tak ada yang perlu ku cari. Setelah lama, aku merasakan sesuatu menyentuh tanganku.

“Ambillah, anggap ini rezeki dari Tuhan” Si ibu menitipkan sesuatu di telapak tanganku. Dan setelah ku lirik sesaat, sehelai uang kertas seribuan remuk dari dalam genggamannya.

“Apa ini bu?” Ku gambarkan wajah dengan nada penuh tanya. Seolah membalas tingkahku tadi, sekarang dia beralih tak acuh. Sambil menatap jauh ke depan dia menjawab:

“Ambil saja. Ibu sedang ada rezeki”

Aku tak bisa menerima ini. Untuk apa? Atas dasar apa dia memberikannya. Aku kembalikan uang itu kepadanya. Tapi dia menepis tanganku dan mengulang pernyataannya serta menambahkan, “Jangan menolak rezeki, itu tidak baik” Senyumnya begitu tulus. Bagai ada malaikat yang menjatuh-jatuhkan salju di atas kepalanya. Sejuk. Seluruh penampilannya berubah seperti Cinderella yang disulap menjadi putri.

Aku hanya termangu. Terpana. Terdiam. Logikaku tak dapat berpikir apa-apa. Runyam. Beragam pertanyaan dan berbagai pernyataan berloncat-loncatan dalam otak. Tapi, tak kuasa melompat keluar. Yang ada hanya kebisuan. Kebingungan memenuhi setiap jengkal ruang pikiran. Benar-benar tak dapat diterima. Apapun alasannya, mana mungkin ini terjadi. Pasalnya, orang yang seharusnya aku bantu, malah berbalik memberi dan yang aku sesali, tanpa alasan yang jelas. Walaupun dia ikhlas, bukankah uang itu lebih baik dia gunakan untuk keperluan lain. Mungkin itu akan sangat berguna, mengingat jerih payah yang dilakukannya untuk mendapatkan uang itu. Dia harus mengorbankan seluruh harga diri dan menampung sedikit kebaikan dari begitu banyaknya orang-orang yang lebih baik darinya. Sekali lagi, aku merasa tak pantas menerima uang itu. Tapi, apa yang dapat aku lakukan. Ironis.

Kali ini, aku trenyuh. Ku tatap wajahnya dalam-dalam dengan harapan dapat menemukan alasan nyata atas apa yang baru saja dia lakukan padaku. Tetap saja, dia tak pernah menoleh padaku lagi. Aku seperti ditinggalkan dalam dekapan kesendirian dan rasa bersalah. Seketika, algojo-algojo bertampang hitam seram mengelilingiku sambil mengacung-acungkan senjatanya. Mobil itu serasa sel penjara. Dan dengan tangan terborgol, aku meringkuk disudutnya. Sedang penumpang lainnya seperti tak pernah ada. Seolah tak pernah memperhatikan peristiwa yang baru saja terjadi.

Aku malu. Segan atas apa yang baru saja terjadi. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dada. Bergolak sangat dahsyat. Mengingat atas apa yang terjadi selama ini. Kita yang berkecukupan, tak sedikit yang memandang sebelah mata pada para pengais rezki itu dengan tatapan yang kadang sangat mengiris hati mereka. Tapi, apa yang terjadi sekarang, sebentar ini, dan aku sendiri yang mengalami, seorang ibu yang untuk makan saja kadang ada kadang tidak, mau berikhlas hati berbagi rezki dengan sesamanya bahkan denganku. Uang seribuan tentu saja merupakan nominal yang besar bagi mereka. Tragis benar nasib mereka yang berkecukupan namun hampa solidaritas. Aku merasa kecil selama ini. Kecil sekali.

Tiba-tiba dia melihat sesuatu dari arah balik kaca sebelah luar. Bergegas memanggil sang sopir untuk menghentikan mobil. Kepanikan terpancar dari wajah kumalnya, yang kini bersinar sebening embun di mataku. Dia terus saja menatap keluar seolah tak mau kehilangan sesuatu yang di luar itu. Kemudian dengan tergesa dia melompat turun dan membayar ongkosnya.

Sebelum mobil kembali berjalan, masih kuperhatikan dia. Sekilas, kulihat ia berlari kecil mencari sesuatu tapi setelah itu menghilang di balik keramaian, di balik puluhan mobil yang berlalu lalang di sekitarnya. Dan dia hilang, tapi kebaikannya akan tetap ada.

Dan aku, tingggallah sendiri. Masih mencari jawaban yang tak akan pernah ku temukan kepastiannnya. Kuhamparkan uang seribuan itu di telapak tangan dan meneliti kembali, jikalau ada pesan yang dia titipkan. Tapi, uang itu seperti uang seribuan lainnya. Tak ada coretan apa-apa.

Mobil melaju. Kencang menuju perhentian berikutnya. Panas mengajarkanku untuk bersabar akan semua derita yang ada. Dan ibu itu telah memberiku sesuatu yang tak akan pernah aku dapatkan dimanapun. Atau mungkin saja, dia adalah malaikat yang sengaja menyamar untuk mengingatkannku?

***

Esok;

“Bu, Kemarin sewaktu akan pulang, Ari diberi uang oleh seorang pengemis”

“Lalu, waang terima uangnya?”

“Iya…”

“Buang saja uang itu. Mungkin saja itu ubek yang dikirimkan ke waang” Ibu marah, memaksa membuang itu.

“ …??? ”

*selesai*

Cerita pendek yang awalnya berjudul 'Ada Malaikat di Jalanan' ini telah dibukukan oleh Perpustakaan Daerah Sumatera Barat dalam kumpulan Cerpen Penulis Pemula 'Cerita Sesudah Keramaian' pada awal tahun 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar